Tulisan ini sebenernya latepost banget ya, sist, tapi rasanya sayang aja kalau masa-masa itu tidak diabadikan.
Jalan sebulan setelah saya dikatakan hamil anak ke-2, dedek Ruby, pada bulan oktober 2018, saya diterima kerja di sebuah majalah wanita. Meskipun selama ini sudah berada di dunia tulis menulis, akan tetapi beda rasanya menulis untuk blog dengan menulis untuk majalah.
Tentunya nggak mudah kembali bekerja kantoran setelah lama menjadi ibu bekerja di rumah, apalagi saya dalam keadaan hamil trimester awal. Saat itu saya membayangkan kalau saja saya tidak bekerja pasti bisa nyantai di rumah, leluasa mual-mual tanpa memikirkan deadline dan keharusan perform karena masih anak baru. Awalnya saya nggak bilang ke atasan kalau sedang hamil karena tidak ingin dikasiani dan dimaklumi dalam menjalankan tugas. Namun seiring berjalanannya waktu mereka bisa melihat perut saya yang semakin membesar.
Trimester awal kehamilan saya berjalan dengan cukup mendebarkan dan melelahkan. Selain karena perjalanan ke kantor yang cukup jauh, Rawamangun – Antasari, ditambah harus 2 kali naik angkutan umum (transjakarta dan ojol), pekerjaan sebagai reporter juga menguras energi dan pikiran. Selamat menikmati pekerjaan yang menjadi dambaan kamu selama ini, vantiiii.
Seringkali saya khawatir dengan kandungan saya yang masih melewati trimester awal. Meskipun sesekali merasakan mual, akan tetapi di trimester awal kehamilan kedua ini saya lumayan jarang merasakan mual-mual, entah karena saya tidak memberi celah untuk tubuh ini berleha-leha karena harus bekerja atau memang tabiat/ kebiasaan tubuh saya yang berbeda dari kehamilan sebelumnya.
Memang sih saya merasa agak keras dengan raga ini karena tuntutan pekerjaan, tapi saya juga memastikan agar cukup mendapat asupan kegembiraan, baik faktor dari luar maupun dari diri sendiri. Selain menjaga kesehatan, ibu hamil kan juga harus happy, ya kan?? Semoga janinnya menangkap bahwa ibunya pekerja keras dan tidak malas, bukan ibu yang memaksakan.
Menulis di Majalah (Life as a Reporter, bertemu teman-teman se-passion hingga pernah dibaperin narasumber, hiks)
Selama kurang dari setahun bekerja, blog ini jadi agak sepi ya, saya berpindah menulis untuk majalah, sebut aja ya kantornya, PT. Trinaya Media, merupakan grup dari Majalah Kartini, Marie Claire dan L’officiel. Tugas pertama saya adalah mewawancarai profil seorang calon legislatif (caleg) dari salah satu partai bewarna biru. Sejujurnya saya sangat suka menjadi reporter atau jurnalis, tugas saya : meliput, mewawancarai narasumber, meramu materi berita dan menulis, begitu seterusnya. Saya tidak melulu keluar kantor untuk meliput, kadang saya juga mendapatkan materi dari berbagai sumber, seperti press release jika tidak bisa menghadiri event atau wawancara via telpon.
Selama bekerja di kantor, saya merasa lebih fokus menulis, meskipun begitu saya belum menemukan pola untuk mengimbangi antara menulis di majalah dan blog, jadinya blog ini sepi deh. Saya banyak belajar bagaimana menulis yang baik dan enak dibaca.
Membenahi Tulisan
Setelah kerja di media, saya menyadari bahwa gaya tulisan saya selama ini freestyle banget ya, hehehe, namanya juga menulis blog alias menulis suka-suka. Selain itu, saya juga tidak memiliki latar belakang jurnalistik (agak mencari alasan sih, tapi memang benar).
Beberapa kali saya ditegur oleh editor saya karena alur tulisan saya yang kurang baik alias loncat-loncat karena menulis tidak sesuai ‘aturan’ jurnalistik. Disinilah saya mendapat kesempatan untuk belajar jurnalistik dan membenahi tulisan saya. Setidaknya saya mulai menyadari kesalahan saya dan mencoba memberbaiki, minimal mengurangi.
Hal-hal yang sering saya lakukan ketika menulis artikel adalah bertele-tele dan terlalu banyak intro, kemudian baru masuk inti tulisan pada paragraf ke 3 atau 4.
Masih ingat kan pelajaran Bahasa Indonesia yang pertanyaannya diminta menentukan paragraf utama/ kalimat utama?? Meskipun tidak wajib meletakan paragraf / kalimat utama diawal, tapi orang-orang memiliki kecenderungan untuk mengetahui terlebih dahulu inti ceritanya, setelah itu baru informasi-informasi pendukung atau kronologisnya. Anyways, saya bukan mau mengajari tentang paragraf utama dan paragraf pendukung ya, hehe, bukan expert-nya.
Meskipun sekarang ini saya tidak lagi menulis untuk majalah, tapi tidak ada salahnya menerapkan ilmu yang saya dapat untuk diaplikasikan ke blog atau media menulis lainnya. Barangkali saja tulisan saya jadi lebih enak di baca.
Pengalaman menyenangkan
Pertama, bisa mendapat pekerjaan yang sesuai dengan passion adalah hal yang menyenangkan. Meskipun kadang menemukan kendala, tapi disitulah letak pembelajarannya. Jadi, ya terima saja sebagai bagian dari pembelajaran.
Kedua, kembali bekerja kantoran berarti memiliki circle pertemanan yang se-passion, untung-untung se-frekuensi. Jangankan yang se-passion, bisa kembali bertemu dengan orang-orang diluar rumah saja sudah senang. Ya mau gimana lagi, setelah resign dari pekerjaan yang sebelumnya, ditambah teman-teman saya memiliki kesibukannya masing-masing, ya saya ngobrolnya sama bayi alias anak saya. Mentok-mentoknya yang tetap menjaga kewarasan saya adalah pillow talk sama suami. Jarang sekali bisa ngumpul sama teman-teman yang sebaya dan se-frekuensi.
Ketiga, mendatangi tempat-tempat baru dan menemui orang-orang baru. Sebagai seorang yang cenderung introvert, saya cukup menikmati tugas saya sebagai reporter yang mengharuskan keluar kantor menemui narasumber. Awalnya sih deg-degan, tapi lama kelamaan saya mulai percaya diri aja, sesekali kikuk juga sih, karena harus mewawancarai selebriti atau orang-orang penting lainnya, hehehe.
Kempat, pencapaian baru bagi saya karena tulisan saya terpampang dan diterbitkan di majalah. Tentu saja ini keuntungan jadi orang yang kerja di media ya. Selain itu, sebagai portfolio yang menandakan bahwa saya serius dengan dunia tulis menulis ini. Kalaupun saya harus kembali stay di rumah karena harus mengurusi bayi saya yang baru lahir, semoga saja selalu ada kesempatan untuk ibu dua anak ini kembali membangun karir, khususnya sebagai jurnalis.
Kelima, jujur saya sangat suka dengan pekerjaan sebagai reporter/ jurnalis. Mencari berita, ‘menjahit’ dan menganalisa materi, kemudian menulis. Meskipun diawal-awal editor saya sempat muak dengan tulisan saya yang freestyle, tapi saya merasa tulisan saya berkembang lebih baik karena saya belajar. (Sepertinya harus ditanyakan langsung ke editor saya, hehehe jangan-jangan ini cuma perasaan saya saja, jangan-jangan tulisan saya masih tetap bikin pusing, ahahaha).
Pernah dibaperin, waktu awal-awal mengemban tugas ini saya juga pernah kena baper salah satu narasumber yang saya wawancarai (rahasia, yang jelas bukan artis-artis yang image-nya saya tampilkan di blog ini). Meskipun tidak dikatakan secara langsung oleh narasumber yang bersangkutan, tapi saya bisa merasakan kalau beliau kurang berkenan. Hal-hal seperti itu juga jadi pembelajaran bagi saya agar kedepannya bisa membaca situasi. Tentu saja tidak mengurangi kecintaan saya dengan pekerjaan ini.
Dilema
Untuk kesekian kalinya saya kembali dilema karena dihadapkan dengan pilihan antara kembali bekerja kantoran atau mengurus anak. Kadang saya merasa menjadi korban dari patriarki, yang mana menomorduakan perempuan untuk memperoleh kesempatan berkembang sesuai passion-nya. Tapi dalam kasus ini, saya tidak bisa menyalahkan patriarki sepenuhnya karena menjadi ibu bekerja di rumah adalah keputusan saya. Suami saya pun tidak melarang saya untuk bekerja. Terlebih, saya rupanya tipe orang yang senang berkeluarga, jadi gimana dong?
Akan lebih mudah untuk saya meninggalkan anak di rumah kalau saja saya punya ART yang baik hatinya dan bisa dipercaya, atau sanak keluarga seperti orang tua dan saudara yang bersedia menjaga anak saya selama saya bekerja. Masalahnya, saya tidak punya, ya mungkin belom rejeki saya.
Kalau sedang berkunjung ke Jakarta, mertua saya sering sekali membuka topik agar anak saya tinggal, sekolah bahkan memiliki kehidupan di Magelang. Intinya, dirawat oleh nenek-kakeknya dan membuka peluang saya untuk bekerja lagi. Meskipun dirawat nenek kakek adalah jawaban yang paling tidak diragukan dari segala kebimbangan saya, tapi jawaban saya tetap ’No’.
Kalaupun saya kembali bekerja kantoran, saya ingin setiap hari tetap bisa melihat anak saya. Pulang kerja tetap disambut oleh anak-anak, bukan malah menjauhkan anak-anak dari saya, mereka itu sumber energi saya loh.
Kalau saya lagi sedih atau galau atau lelah karena urusan diluar rumah, melihat anak-anak bisa menaikan energi saya kembali. Sesekali ditinggal liburan ke rumah kakek-neneknya sih boleh saja, misalnya 2 minggu sampai sebulan, tapi kalau untuk tinggal jauh dari saya dan suami dalam jangka panjang dan berkelanjutan, jujur saya tidak bisa mengabulkan permohonan mertua saya, I just can’t.
Solusinya ya Daycare
Jadi, sejauh ini jalan keluarnya adalah daycare. Selama saya bekerja di Trinaya Media, Arrayan saya sekolahkan di daycare. Saya suka konsep daycare yang tidak hanya sebagai tempat menitipkan anak, tapi juga sebagai sekolah. Jadi, anak-anak tetap mendapatkan pengajaran dan kesenangannya sesuai dengan umurnya. Selain itu, daycare memiliki kurikulum tersendiri, guru-gurunya pun cukup kompeten.
Jadi, begitulah yang terjadi saat saya mulai bekerja kantoran ketika sedang hamil anak kedua. Sekarang ini, Ruby sudah lahir dan saya kembali stay di rumah mengurus Ruby sambil nonton netflix, hahaha. Arrayan sekarang sudah playgroup dan setiap hari sekolah. Sewaktu Arrayan sekolah dan Ruby tidur adalah me time buat saya.
Meskipun tidak lagi bekerja kantoran, tapi saya selalu berusaha untuk tetap ‘memperkaya’ diri saya. Memperkaya dalam artian tetap membuat diri saya produktif dan berdaya, juga memperkaya dalam arti sesungguhnya, hehe…putar otak gimana caraya bisa memperbanyak pundi-pundi uang, ahahaha, ya gitu deh.
Kedepannya, saya masih ada keinginan untuk melanjutkan karir sembari membesarkan anak. Sungguh. Kalau ada lowongan let me know ya, hehehe. Kalau timing-nya tepat dan berjodoh dengan adanya yang jagain anak-anak, pasti saya coba.
Sepertinya saya sudah banyak nulis ngalor-ngidul, ada baiknya disudahi saja tulisan ini. 🙂
Leave a Reply