Sulitnya Untuk Tidak Menulis Tentang Marlina

Awalnya, saya pikir film Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak mengisahkan tentang seorang pembunuh berdarah dingin bernama Marlina. Lebih dari itu, ternyata tentang perjuangan seorang wanita untuk menemukan keadilan dan kebebasannya.

Karena banyak netizen yang memberikan respon positif untuk film ini, akhirnya minggu lalu saya menyempatkan diri untuk menonton di bioskop. Berat menulis tentang Marlina, tapi sulit untuk tidak menulisnya. Sudah seminggu berlalu tapi saya masih kepikiran film ini, rasanya karya yang bagus dan banyak pesan moralnya itu sayang kalau tidak dibagikan.

Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak

Atau dalam bahasa Inggris ‘Marlina The Murderer in Four Act’ mengisahkan perjuangan Marlina (Marsha Timothy), janda yang telah ditinggal mati anak dan suaminya, dalam menemukan keadilan. Perjuangannya bermula ketika sekelompok pria yang memiliki niat tidak baik datang ke rumahnya untuk mengambil ternak dan berencana ‘menggilir’nya. Ketuanya yang bernama Markus (Egi Fedly) mengatakan bahwa ternak-ternaknya akan dijual untuk menutupi biaya pemakanan anaknya, Topan.

Pada beberapa daerah di Indonesia memang memiliki prosesi tradisi upacara kematian yang kompleks, bahkan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Marlina pun terpaksa memumikan jenazah sang suami karena ia tidak punya cukup biaya. Biaya yang ia miliki sudah digunakan untuk kematian sang anak.

Ditengah kesedihannya, ia justru mendapat prilaku yang tidak menyenangkan dari Markus dan kawan-kawannya. Untuk melindungi diri, Marlina pun membunuh para pria yang ingin memperkosanya dengan cara meracuni makanan mereka dan menebas kepala Markus.

Babak pertama begitu mengiris hati, bukan karena pembunuhannya, melainkan karena menampilkan kejahatan sekelompok pria yang tidak menyadari bahwa apa yang mereka lakukan itu sebuah kejahatan. Dan Marlina harus melewati hal yang tidak mengenakkan itu seorang diri.

Perjuangan belum selesai, Marlina harus menempuh perjalanan jauh sambil menenteng kepala Markus sebagai barang bukti untuk sampai ke Kantor Polisi. Namun sesampainya di kantor polisi, Marlina tidak dilayani dengan segera bahkan ia diminta menunggu sebulan untuk divisum karena alat-alatnya tidak tersedia saat itu.

Seketika ia merasa tak berdaya, tangisannya tak tertahan. Ini merupakan adegan yang sangat emosional bagi saya, seperti merasakan kesedihan Marlina. Kalau orang yang tugasnya untuk melindungi masyarakat saja tidak bisa dijadikan tempat untuk mengadu maka harus kepada siapa lagi ia mengadu??

Adegan ini cukup serius mengkritik bagaimana akibatnya jika aparat kepolisian ini tidak bekerja dengan baik, maka rakyat yang menjadi korban.

Mungkin sepintas film ini menceritakan kemalangan seorang Marlina, sesedihannya yang bertubi-tubi. Akan tetapi, dibalik itu ia adalah sosok pejuang yang kuat. Perjuangannya tidak beramai-ramai, ia seorang diri mencari keadilan, melewatinya dengan tegar dan anggun meskipun didalamnya membendung berbagai masalah.

Sinematografi dan scoringnya sangat apik. Bahkan diamnya Marlina pun bukan tanpa makna, tapi berharga. Tidak banyak aksi tapi sangat mendalam dan emosional. Suka juga dengan lagu pengiringnya yang berjudul “Lazuardi” dibawakan oleh Cholil Mahmud. Pada beberapa adegan, lagu ini sangat menambah kesan dramatis, seperti mengiringi seorang pejuang untuk maju ke medan perang. Mengingatkan saya dengan film koboi, apalagi Marlina dicirikan dengan sosok perempuan yang menunggang kuda sambil menenteng kepala lelaki yang hendak memperkosanya, bak koboi, tapi koboi Sumba, Indonesia punya.

Ditampilkan juga indahnya pemandangan pedalaman Sumba dengan padang rumputnya dan rumah yang jarang-jarang, juga budaya Sumba bahkan busana, kain dan transportasinya pun tak luput.

Selain tentang Marlina, ditampilkan pula tokoh wanita hamil bernama Novi (Dea Panendra) yang tengah mengandung 10 bulan. Novi membawa kisahnya sendiri, dimana ia harus berjuang meraih kepercayaan dari sang suami yang menuduhnya berselingkuh, ia juga berjuang sebagai wanita yang sedang mengandung. Tidak melulu kesedihan, Novi hadir membawa guyonan dengan dialek Sumba, membuat penonton terhibur meskipun miris, karena tersirat komedi gelap.

Pada akhirnya Novi lah yang membantu Marlina saat ia hendak diperkosa oleh Franz (Yoga Pratama). Chemistry Novi dan Marlina sebagai wanita Sumba yang tolong menolong sangat mencuri perharian.

Kemunculan Dea Panendra dan Yoga Pratama menambah deretan aktris dan aktor yang mulai diperhitungkan di Indonesia. Sedangkan Marsha Timothy semakin tidak diragukan lagi, memerankan Marlina melejitkan acting-nya yang dari awalpun sudah authentic.

Jadi ingat kemunculan Reza Rahardian saat memerankan tokoh antagonis di film Perempuan Berkalung Sorban dan Tanda Tanya, kini Reza menjadi salah satu aktor kawakan yang wajahnya banyak menghiasi perfileman Indonesia. Bukan tidak mungkin Yoga Pratama mengikuti jejak Reza Rahardian atau jejak Abhimana Aryasetya, yang bisa dibilang doppleganger-nya.:) 

Experience

Menonton Marlina Si Pembunuh Empat Babak seolah mengajak penonton keluar dari zona nyaman. Saya yang sudah merasa hidup dengan nyaman ini disadarkan kembali bahwa diluar sana ada orang yang tak seberuntung saya, yang bertahan hidup saja sulit, berjuang untuk memperoleh keadilan dengan caranya masing-masing.

Barangkali Marlina tidak mengenal feminisme, ia hanya berusaha untuk menyelamatkan diri dari jeratan pria-pria cecunguk itu. Namun aksinya seakan membuka mata masyarakat. Mensejajarkan posisinya dengan Katniss Everdeen (THG), yang juga tokoh warrior wanita dari Hollywood.

Penonton disuguhkan dengan permasalahan wanita sebagai yang terpinggirkan, minoritas dan tertindas. Meskipun ini kisah fiksi namun persoalan-persoalan yang diangkat cukup mewakili isu yang belakangan terjadi di negeri ini. Sebuah film yang sarat dengan kritik sosial. Membuka kesadaran kita akan apa yang terjadi di daerah-daerah terpencil, tidak melulu Jawa dan Islam.

Film arahan Mouly Surya ini tidak hanya mendapat sambutan hangat dari dalam negeri, tapi juga dari luar negeri. Sebelum penayangannya di Indonesia, film ini telah disambut baik pula di beberapa negara dengan mengikuti festival film Internasional Toronto, Cannes, Maroko, Bussan, Melbourne bahkan di Sitges Internasional Film Festival Marsha Timothy mendapat penghargaan sebagai artis terbaik. Luar biasa!!!

Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak telah tayang di Indonesia sejak tanggal 16 November 2017, dan masih dapat disaksikan di bioskop sebelum filmnya menghilang dari peredaran. Saya saja rasanya nggak cukup nonton sekali.


Comments

6 responses to “Sulitnya Untuk Tidak Menulis Tentang Marlina”

  1. aku udah nonton, dan sukaaaaak banget ^o^.. sedihnya dapet, seremnya dapet, lucunya juga ada yaa… yoga pratama itu dulunya sering main film warkop kan yaa? jd anak kecilnya… mukanya familier banget… Dari dulu aktingnya memang udh bagus.. yakin aku, sehabis film marlina ini, dia bakal srg dapat film2 lainnya…

    1. kayaknya iya mbak yg suka jadi anak kecil di warkop, terakhir aku liat juga dia main di 3 doa 3 cinta bareng sama nicholas saputra dan dian sastro.

  2. Mba Novi kalau sudah review film aku yang membacanya jadi ikut merasakan serunya

    1. hai mbak yurma…untuk film ini memang deep banget mbak pesannya

  3. mbak review nya bagus banget, aku yang belum nonton serasa lagi nonton film nya thanks ya mbak

    1. makasih mba…mending langsung nonton filmnya aja..masih ada kok mbak di bioskop 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *