Nonton The Greatest Showman adalah salah satu 2 jam terbaik dalam hidup saya. Happy aja gitu nontonnya, menyenangkan!! Pesan dan nilai moralnya dapet, entertainnya ada, lagu-lagunya bagus, temanya dekat, spiritnya saat mereka singing and dancing nyampe banget. Mereka menyayi dan menari seperti merayakan hidup.
The Greatest Showman memang sudah cukup lama tayang di bioskop, yaitu sekitar akhir bulan Desember 2017 lalu dan saya baru punya kesempatan nonton film ini awal Februari 2018 lalu bersama teman kuliah, Maya dan Mbak Dwi. Alhamdulilah masih kedapetan nonton di bioskop bahkan seminggu setelahnya saya kembali mengajak suami, hehe, jadi nonton 2x. Abis bagus banget filmnya bahkan sampai sekarang ini saya masih belum move on dengan lagu-lagunya.
Gara-gara putar ulang terus sountrack-nya di Spotify, sepertinya nanti list lagu di discover weekly Spotify saya bakal berubah jauh genrenya ke musical, hahaha.
Meskipun sekarang sudah mulai hilang dari bioskop dan mungkin sudah banyak juga review-nya, tapi rasanya saya ingin menuliskan pengalaman menyenangkan dan berkesan ini, lagi pula setiap orang kan punya experience dan opini yang berbeda-beda terhadap sesuatu, bukan?
The Greatest Showman
Sebuah film yang diangkat dari kisah nyata Phineas Taylor Barnum atau PT Barnum dalam memulai bisnis sirkus hingga memperoleh kesuksesannya di abad 19. Dibungkus dalam genre musical, The greatest Showman ini berhasil membuat penonton terhenyuh dengan lagu-lagu dan tarian pemainnya yang terasa megah dan mengagumkan.
Diawali dengan kisah Barnum kecil yang berasal dari keluarga kurang mampu. Pekerjaan ayahnya sebagai penjahit baju kaum borju membawanya bertemu dengan Charity, anak perempuan majikannnya. Mereka pun tumbuh dewasa, dan saling mencintai. Meskipun tidak didukung oleh keluarga Charity, namun Charity (Michelle Williams) sangat menantikan moment dimana ia meninggalkan kehidupan mewahnya dan hidup bersama Barnum (Hugh Jackman).
Walaupun hidup sederhana, dengan pekerjaan Barnum yang monoton, tapi mereka bahagia. Hingga suatu hari perusahaan tempat Barnum bekerja bankrut, dan memecat semua karyawannya. Barnum yang tidak ingin mengecewakan istri dan anaknya, kemudian menjaminkan seluruh harta yang ia miliki untuk membeli sebuah museum.
Meskipun Barnum merasa lebih dekat dengan minatnya di bidang pertunjukan, namun museumnya tidak banyak menarik pengunjung karena kurang menarik dan hanya berisikan benda mati. Tak lama, Barnum mendapat ilham untuk menghidupkan kembali bisnis yang ia bangun dengan menghadirkan sebuah pertunjukan yang merangkul orang-orang aneh dan berbeda dari orang pada umumnya.
Barnum banyak menemukan talent, mulai dari lelaki kerdil bernama Charles Stratton (Sam Humphrey), perempuan berjenggot yang bersuara emas bernama Lettie Lutz (Keala Stelle), duo bersaudara pemain akrobat Anne (Zendaya) dan WD Wheeler (Yahya Abdul Matten II), manusia penuh tatto hingga lelaki terberat dan tertinggi yang ia ciptakan.
Surprisingly, pertunjukan orang-orang aneh ini cepat menarik perhatian masyarakat. Walaupun begitu, selalu ada orang-orang yang nyinyir dan tidak menyukai pertunjukan Barnum, terlebih pertunjukannya mendapatkan kritik pedas dari seorang Jurnalis dan menuliskannya di kolom surat kabar.
Sebenarnya Barnum tidak terlalu memperdulikan pendapat orang, akan tetapi ia ingin memperbesar bisnisnya. Dengan mengaet seorang parner dari kalangan atas seperti Phillip Carlyle (Zac Efron) dinilai langkah yang tepat.
Meskipun strateginya berhasil membawanya berkenalan dengan penyanyi opera papan atas di Eropa, Jenny Lind (Rebecca Ferguson), namun banyak jalan berliku yang dilewati Barnum. Pertunjukannya yang masih dinilai sebelah mata, Barnum yang terlena dengan ketenaran, Barnum yang ambisius dan Barnum yang lupa.
Tidak hanya tentang PT Barnum dan kerja keras -mimpi -imjinasinya, The Greatest Showman juga menampilkan kisah minor tentang cinta, kesetiaan, persahabatan, keluarga juga skandal kecil-nya.
Memang tidak semua diambil dari kisah nyata, seperti kisah cinta yang berbeda kelas, dan skandal selingan anatara Barnum dan Jenny Lind yang sama-sama kita tau sebagai penambah porsi drama agar lebih menarik. Setidaknya tema-tema tersebut inspiratif, terasa dekat dan membuka mata penonton. Patut diperhitungkan dalam penilaian kesuksesan film ini.
Review
Sangat suka dengan jalan ceritanya yang ringan, tapi entah apa membuatnya menjadi lebih padat dan berkesan, mungkin lagu-lagu dan kedekatan temanya ya. Plotnya berkembang dengan baik. Tema-tema minornya menyatu dengan tema utamanya secara halus, memperkaya jalan cerita.
Lagu-lagu dan liriknya juara. Melalui lagu dan tariannya, kisah-kisah yang tidak cukup terungkap berhasil tersampaikan lebih mendalam.
Meskipun kisah PT Barnum bersetting abad 19, namun ini tidak menyempitkan genre musiknya. Cukup terkejut dengan lagu-lagu yang diaransamen ke arah pop dibanding klasik. Namun lagi-lagi ini sama sekali nggak terkesan aneh, justru catchy dan membawa spirit kekinian.
Credit untuk Benj Pasek dan Justin Paul, duo song writer dan komposer yang lagu-lagu ciptaannya sangat memberi energi tersendiri bagi film dan penonton. Suka semua lagunyaaa..
Acting para pemain nggak perlu diragukan lagi, totaalll. Apalagi dance dan segala gerak gerik teatrikal-nya alus pisaaaan (kalau kata kang Arman), saya rasanya pingin tepuk tangan setiap kali mereka selesai pertunjukan, khususnya pada lagu-lagu yang semangat seperti ‘The Greatest Showman’, ‘Come Alive’, ‘This is me’, dan ‘From Now On’. ‘This is Me’ sendiri dijagokan akan mendapatkan banyak penghargaan lho.
Melihat Hugh Jackman berlaga musical sebagai Barnum membuat saya menyingkirkan jauh-jauh sosok perkasa Logan/ Wolverine. Rasanya ingin terus bahagia dalam gerak tari dan nyanyiannya bersama orang-orang anehnya. Meskipun bukan pertama kalinya melihat Hugh Jackman tampil secara musical, tapi dalam The Greatest Showman ia sangat menunjukan kharismanya sebagai aktor musical broadway. Kagum.
Tidak hanya Hugh Jackman, Zac Efron juga nggak kalah berkharisma. Perannya sebagai pebisnis muda golongan borju yang jatuh cinta dengan Anne Wheeler- pemain akrobat terlihat sangat menyentuh. Chemistry mereka ada banget apalagi pas adegan berayun dan menyanyikan lagu ‘Rewrite The Stars’ . Cukup bisa menghilangkan sosok Troy (HSM) yang selama ini melekat pada Zac Efron (yap, kalian yang mulai jadi abegeh di tahun 2005an, siapa yang nggak tau High School Musical).
Pujian juga buat Zendaya karena menampilkan aksi trapeze secara real. Itu luar biasaaa kereeen dan terasa banget feel-nya. Baru pertama kali dengar nama Zendaya, ternyata ia artisnya disney ya. Maklum, saat itu saya udah nggak terlalu nonton disney channel lagi (kalo film-nya disney sih sampai sekarang masih), zamannya saya mantengin disney channel itu waktu film Lizzie McGuire, The Princess Diary dan masih kedapatan High School Musical, hehehe.
Koreo-nya Zendaya di adegan terakhir seru banget, ada gerakan patah-patahnya, gue nggak tau namanya apa, tapi enak dilihat.
Untuk sutradara, Michael Gracey, terima kasih telah membuat film ini dengan tema-tema yang nggak kemakan zaman dan secara musical. This is The Greatest Show indeed.
Pelajaran
Barnum bermimpi, berkerja keras dan mewujudkannya. The Greatest Showman menceritakan tentang perjuangan PT Barnum membangun dari nol sebuah bisnis entertainment yang saat itu pun belum tercetus kata sirkus. Kata itu baru muncul ketika seorang kritikus seni menjuluki pertunjukan orang-orang aneh tersebut sebagai sirkus, bukan seni. Barnum menghadirkan dan mengenalkan hiburan sirkus pada masyarakat segala kalangan dan menjadi sensasi dunia.
Barnum sosok yang visioner. Ia menciptakan sebuah hiburan yang saat itu tidak terpikir oleh masyarakat. Alih-alih menjauhi orang aneh, Barnum malah merangkul mereka dan menjadikannya bintang. Membuat hal yang ganjil menjadi istimewa. Pertunjukannya seolah-olah khayalan yang jadi nyata, sejenak kesampingkan beban dan masalah karena yang ada hanya keajaiban dan kebahagiaan.
Barnum seorang yang memiliki tujuan, Ia bernegosiasi dan membesarkan bisnisnya. Adegannya bersama Zac Efron di kedai bir menyadarkan saya bahwa dua laki-laki ini memesona dan gentlemen. *kedip-kedip mata sambil menghela napas.
Barnum seorang suami dan bapak yang mengayomi. Ia berusaha membuat kehidupan anak dan istrinya menjadi lebih baik dengan meraih mimpinya, dengan menjadi ‘seseorang’. Meskipun ia sempat terlena dengan ketenaran dan lupa dengan orang-orang yang mengantarkannya pada kesuksesan. Kemudian bisnisnya pun jatuh. Quote dari Mrs. Barnum / Charity terdengar menjadi lebih bermakna :
“You don’t need everyone to love you, just a few good people”.
Menyadari kesalahannya Barnum kembali bangkit bersama keluarga dan sahabat-sahabatnya. Makanya film ini patut ditonton oleh lelaki-lelaki atau siapapun yang sedang hilang arah. Para istri ajaklah suamimu menonton The Greatest Showman, and that’s what I did, hehe.
Nggak habis-habis kita belajar dari seorang PT Barnum, The Greatest Showman juga tentang orang-orang terpinggirkan, tentang mereka yang mencari ‘tempat’, tentang rasisme yang menjadi tema hangat saat ini. Sebelum Barnum merangkul orang terpinggirkan, ia sendiri adalah orang terpinggir dari kalangan bawah bahkan sampai sukses pun ia masih di anggap sebelah mata oleh ayah Charity.
Saya respect dengan adegan saat kritikus seni, James Gordon Bannet (Paul Sparks), yang meskipun sempat memusuhi pertunjukan Barnum, namun dengan besar hati ia memuji Barnum bahwa pertunjukannya merupakan ‘perayaan kemanusiaan’.
“You are putting folks of all kinds on the stage with you, presenting them as equals”.
Jujur pertama nonton film ini saya nggak tau kalau ternyata The Greatest Showman diangkat dari kisah nyata Phineas Taylor Barnum memperoleh kesuksesannya di abad 19. Setelah 146 tahun berdiri, pada Mei 2017 The Greatest Show on Earth resmi tutup karena kurangnya minat masyarakat terhadap sikus dan adanya protes akan hak asasi binatang.
Jadi, bisa disimpulkan The Greatest Showman ini seperti tribute untuk PT Barnum yang sudah mengenalkan dan menghadirkan sirkus dalam hidup kita. Karena diceritakan bahwa awal mula Barnum memulai bisnis Sirkus ini dianggap sebelah mata oleh masyarakat, belum lagi anggapan bahwa sirkus hanya menyajikan suatu kebohongan belaka dan bukan bagian dari seni murni.
Ia mengakui bahwa ia menjual sensasi, memasukan bantal juga menambahkan kaki ke talent-nya yang dijuluki sebagai orang terberat dan Irishman tertinggi di dunia. Namun apakah industri hiburan sekarang ini bisa dibilang nyata senyata-nyatanya? kalau iya, harusnya saat ini kita tidak mengenal kata ‘settingan’ atau halusnya ‘diarahkan’.
Setelah film ini, bukan tidak mungkin minat masyarakat terhadap sirkus kembali muncul. Saya pun rindu nonton sirkus. Sewaktu kecil saya pernah diajak almarhum bapak Iyo nonton sirkus di daerah Kelapa Gading dan itu pengalaman yang menyenangkan. Kira-kira kapan ya ada pertunjukan sirkus lagi di Jakarta??
Kalau kalian belum nonton The Greatest Showman di bioskop, jangan sedih, banyak cara kok, bisa download atau beli DVD-nya. Film ini patut banget dinikmati segala usia dan keadaan. Mood booster banget lah! Rasa-rasanya setelah selesai nonton film ini dan keluar dari bioskop, hidup terasa jadi lebih baik. hehehe. Kalaupun ini cuma perasaan, setidaknya rasa itu pernah mampir 😀
Untuk segala kebahagiaan yang dirasa, saya berikan nilai 8.5/10 buat The Greatest Showman. 😀
Leave a Reply